Ceng Beng, mengurus Kubur

Minggu minggu sekarang ini, masanya Ceng Beng, masa menengok kubur. Aku tidak tahu bagaimana hitungannya sejak tahun baru Imlek, juga tidak tahu sebenernya tradisinya dan upacaranya. Tapi yang aku tahu, Keluarga berkumpul, bersama sama menengok kuburan, atau bersama sama ke laut menabur bunga, kalau dulu meninggal di kremasi dan abunya di buang ke laut. Kalau dulu di solo, di buang di sungai bengawan solo.

Keluargaku sendiri tidak mengajarkan tradisi ini, karena memang tidak menjalankannya. Dulu nih….menengok kubur, ya…kapan saja, tidak ditetapkan harinya. Aku sendiri kenal Ceng Beng dari keluarga mertua. Saat aku married, papa mertua sudah tidak ada, itulah pertama kali tahu ceng beng. Semua sudah dipersiapkan, kirim ‘uang’, kirim makanan, menengok tempat abu, sembahyang dll.

Ingat ceng beng, aku pingin berbagi tentang aneka kubur orang mati yang pernah kukenal.

Buang Abu ke Laut/Kali

Kakekku, dari mami, di kuburkan di solo, di dekat sungai bengawan solo bersama beberapa kerabat. Aku ingat dulu sering diajak menengok kuburan ini, membersihkannya, menabur bunga. Tapi ketika ada pembangunan taman Jurug, kuburan kena gusur. Keluarga kami tidak memindahkan kuburan, tapi mengkremasikan tulang belulang. Untuk keluarga yang percaya, proses ini di upacarakan. Tapi keluargaku simple aja. Beli peti baru yang kecil, kuburan di gali, tulang belulang dikumpulkan di peti kecil, lalu sewa tempat kremasi.

Abunya, di buang di Sungai bengawan Solo. Pembuangan abu juga cuma menyewa perahu, setelah sampai di tengah sungai, abu di taburkan. Di komplek kuburan itu, ada beberapa kerabat yang dalam waktu hampir bersamaan juga di gali. Ada satu jenasah yang masih utuh seperti saat baru meninggal, padahal udah beberapa tahun di kubur, jenasahnya juga tidak di balsem. Mungkin pengaruh obat2an saat dia sakit ya, sampai jenasahnya utuh gitu. soal bau busuk atau tidak….aku nggak ingat, karena waktu itu masih kecil, rada rada cuek dan tak kenal takut dan bau.

Kuburan Kerkoft yang unik
Kakek dan nenekku dari papi, dikuburkan di Kerkoft Semarang, di seberang pabrik jamu Nyonya Meneer. Karena kakekku pendeta, beliau mendapat kavling kuburan dari jemaatnya,
sehingga di kuburkan bersebelahan dengan jemaat yang memberinya kubur ini. Kuburan ini unik, dan cuma di sinilah aku melihatnya. Pernah membayangkan kuburan Yesus? ya….mirip seperti itu.

Kuburan kakekku ini suatu bangunan setinggi kira kira 1,5 meter, lebar hampir 5 meter. Panjang, mungkin 2 meter lebih. Kotak bangunan ini terdiri dari 3 kuburan, bentuknya jadi semacam locker berjajar 3 gitu. Kakekku mendapat tempat paling ujung kiri, sementara tengah dan ujung kanan di pakai oleh si empunya kubur ini. Peti matinya tidak di tanam dalam tanah, tapi dimasukkan di ‘locker’ ini, lalu lubang lockernya di tutup lagi dengan tembok dan marmer. Nisannya sendiri berada di atas bangunan kotak ini, di beri atap.
Ketika nenekku meninggal 7 tahun kemudian, tutup locker tsb di bongkar, peti mati kakekku masih utuh lengkap dengan kain tilenya, di pinggirkan, agar cukup tempat untuk peti mati nenekku, yang diletakkan di sebelahnya. trus….di tembok lagi.

Jadi…jenasahnya tidak menyatu dengan tanah, membusuk dan mengering. Di situ banyak yang di kubur dengan cara itu sejak jaman belanda. Dan tidak sedikit juga kubur yang di bongkar paksa oleh orang jahat, di ambil hartanya (entah ada harta atau nggak ya??) atau di ambil peti kayunya. Kubur nenek buyutku juga begitu, ketika aku menengok, sudah bolong pintu lockernya, tinggal tulang belulang berserakan, di tengkorak masih nempel rambut dan
konde kecilnya, dan serpihan kain2, petinya tidak ada. Aku pernah ngintip kuburan yang udah di bolong, tapi nggak di bongkar petinya, petinya bagus dengan pegangan besi, meskipun matinya sudah puluhan tahun. Mungkin masih nggak mau ambil, karena jenasahnya belum kering tuh.

Nah…tahun 1985-an, komplek kerkoft ini di gusur, kami harus memindahkan kerangka2 keluarga kami. Menyebalkan sekali, hidup sudah susah, matipun, masih mengalami kesusahan, kena gusur! Kami menyewa jasa yayasan kematian di gereja untuk mengangkat kerangka tsb. Karena yakin peti2nya masih utuh, kami tidak membeli peti baru seperti engkong solo, tapi langsung kedua peti itu di bawa ke krematorium, bersama kerangka nenek buyut yang pernah di bongkar kuburnya.

Sewa Krematorium kan berdasarkan berapa kali membakar. meski kenyataannya kerangka yang di bakar milik 3 orang, kami mau ngirit, ngirit duit…ngirit waktu…ngirit bahan bakar. Jadi semua kerangka di jadikan satu. Kedua peti jenasah kakek dan nenek di buka. jelas…bau busuk langsung menyebar.

Jenasah Nenek yang sudah meninggal 6 tahun sebelumnya masih utuh, kelopak matanya sudah habis, perutnya sudah kempis, tapi wajah, tangan dan lain2nya masih ada. Jenasah kakek tinggal kerangka terbalut kulit. Toga pendetanya masih utuh terpakai. Kerangka kakeklah yang diangkat langsung bersama taplak pelapis peti, di tumpangkan langsung ke kerangka nenek, lalu tulang belulang kakek buyut di masukkan sekalian, peti di tutup lagi ala kadarnya, dan masuk ke oven, dengan proses pembakaran selama 8 jam. Abunya kami buang ke laut. Tanpa upacara apapun, cuma disaksikan seluruh keluarga.

Taman Abu

Ketika mama mertua meninggal, 2 tahun setelah aku married, mama langsung di kremasi. Sama dengan mertua laki laki yang juga di kremasi, abu nya di titipkan di taman abu Ambawara yang sekomplek dengan krematorium. Abu papa dan mama mertua, di letakkan di “kavling” yang bersebelahan. Karena adik2 iparku masih melakukan sembahyang dan upacara2, pemilihan “kavling” ini melalui proses tanya jawab dengan kedua almarhum. Mereka memilihkan kavlin, lalu sembahyang, lalu melempar 2 koin. Kalau yang terjadi 2 mata uang menunjukkan permukaan yang sama, berarti setuju. Kalau tidak setuju, di tunggu beberapa saat. proses di ulang. kalau sampai 2 kali tidak setuju, maka akan dicarikan tempat baru.

Bangunan di taman abu ini, kira kira setinggi 4 meter. Bagi yang dapat kavlin di atas, kalau sanak keluarga menengok, harus memanjat tangga dan panggung untuk menyembahyangi dan mengganti bunga. Dalam taman di bangun beberapa blok tempat abu yang letaknya tersebar.

Ketika mamiku meninggal, kami juga langsung mengkremasi jenasahnya. Saat itu proses kremasi butuh waktu 8 jam dan tidak dapat langsung di ambil abunya. Kami menunggu 3 hari, saat mengambil, kami mendapat 1 karung abu dari peti dan tetekbengek yang ikut terbakar. dan 1 kantong kain putih, yang berisi abu dari kerangka. Abu kerangka, kami titipkan di Taman Abu Ambarawa, bukan untuk sembahyang atau macam itu, tapi untuk ikatan emosional saja.

Aku melihat jelas bagaimana hasil akhir pembakaran jenasah, ketika melayat di Krematorium Nirwana Marunda. Di situ krematorium modern setelah cilincing. Pembakaran jenasah cuma butuh waktu 2 jam, jika menggunakan oven modern. Karena oven hanya satu, tak jarang jenasah mengantri untuk di kremasi.

Jika ada keluarga yang meninggal akan di kremasi, biasanya cepet2an booking krematorium, spy leluasa menentukan jamnya. Kalau jam yang kita inginkan sudah dipakai orang lain, terpaksa harus menggeser 2 jam sebelum atau 2 jam setelah orang tsb. Dalam sehari, kalau Full satu oven bisa mengkremasi 4 atau 5 jenasah.

Nah…pernah ketika aku melayat, harus menunggu ovennya selesai membakar jenasah sebelumnya. begitu selesai, menunggu proses pendinginan abu, alas jenasah yang bentuknya mirip loyang lebar dan panjang di keluarkan, teronggok abu disitu, masih terbentuk kerangka manusia, diatas tumpukan abu kayu. Ya…kerangka manusia tidak serta merta hancur seperti abu kayu. Masih terbentuk kerangka, dan ini rapuh sekali. Setelah dingin, kerangka ini dikumpulkan dalam kantong kain yang di rangkap, lalu di hancurkan dengan di
pukul2 pakai pemukul besar, baru di taburkan ke laut. Berat kerangka yang telah di bakar, hanya sekitar 2-4 kilo, tergantung postur tubuhnya. Saat itu aku baru “ngeh” bener, bahwa abu jenasah, b
erbeda dengan abu peti mati.

Nenek dari mamiku, yang meninggal ketika mami masih gadis, di kubur di luar kota semarang, di atas bukit. Karena jauh, dan aksesnya tidak mudah, kami jarang menengok kuburnya. pernah dalam 2 tahun tidak di tengok, kami sampai pangling melihat cepatnya
perubahan yang terjadi di area kuburan itu, dan harus mencari cari jalan menuju ke kuburan yang sebagian sudah tertutup ilalang. Tambah lama, kuburan itu makin dekat dengan pemukiman liar. Jadi….sekitar tahun 99 lalu, kami berinisiatif mengambil kerangkanya, dan
mengkremasikan, dan menitipkan abunya, di dekat abu mami. Ketika kuburan di gali, di bawah nisan tidak di temukan kerangka! Bingung banget….. maka penggalian di perlebar ke kanan dan kiri. 2 hari menggali baru lah kerangka di temukan, telah bergeser kira kira 2 meter dari nisan! Entah nisannya yang telah di geser pelan2 oleh penduduk, atau tanah dibawahnya yang bergeser.

Akhirnya, abu nenekku kavlingnya di atas kav mami, abunya papi di bawah kav mami. Peletakan ini nggak pakai tanya2 pada yang nempati 🙂 karena memang kavling itu yang kosong, jadi…pake aja. Kami menyewa selama 20 tahun sekaligus, di bayar di muka. Kalau aku pulang ke semarang, pasti mampir ke taman abu ini, selain ziarah, juga memperkenalkan anak2 pada kakek dan nenek moyangnya.

di Jakarta, aku lihat banyak rumah abu seperti di ambarawa, tapi dalam ruangan tertutup, bukan di taman.

Foto-foto ini diambil beberapa tahun lalu, waktu kami menengok Taman Abu di Ambarawa.